Ibuku dan Dapurnya
Ibuku
dan dapurnya tidak pernah tidak melakukan apa-apa. Mereka selalu punya hal
untuk dilakukan berdua. Ya, ibuku memang sudah menua. Rambutnya makin putih,
diselingi oleh kerutan di dahi yang kadang coba ia samarkan dengan anti-kerut seadanya
di rumah. Ibuku tidak punya alasan untuk meninggalkan dapurnya. Ia selalu
mempunyai sesuatu yang harus dimasak bersama dapurnya. Ya, mereka terlihat
sangat akur sekali. Meski memang, ibuku makin menua tiap saat. Langkahnya sudah
tidak sekokoh dulu saat masih menggendongku pulang dari kebun ketika sore
menjelang, lalu melemparku ke bak mandi. Ya, kakinya mulai dimakan jaman. Tak
jarang ia mengeluhkan semut-semut yang menggerayangi kakinya selepas matahari
terbenam. Tangannya mungkin tidak sehalus dulu seperti saat ia membelai
rambutku sebelum aku terlelap dalam dekapannya. Ibuku mungkin mulai menua dari
hari ke hari. Tapi ia tetap tidak terpisahkan oleh dapurnya, sampai kapan pun.
Ibuku
dan dapurnya selalu menyuguhkan hidangan yang tidak bisa kutolak. Ibu selalu
punya cara membuat lidahku bertekuk lutut di depan masakannya. Padahal ia dan
dapurnya tidak pernah membuat masakan istimewa seperti di restoran bintang
lima, enam, atau bahkan seratus. Ia hanya meracik bumbu dapur biasa yang dibeli
di pasar tradisional, yang becek, bau, dan tidak berkelas. Ia hanya mencampur
bahan yang ia punya dengan cinta. Malah pernah, ia hanya menyediakan telur
dadar dengan nasi dan sambel seadanya ditengah keadaan ekonomi keluarga yang
sedang berjongkok, mungkin tergeletak lemah di atas tanah. Tapi, itu adalah
masakan terbaik yang pernah kumakan seumur hidup.
Ibuku
dan dapurnya tidak pernah terpisahkan. Mereka selalu berhasil membuat sesuatu
yang menarik tidak hanya mulut, tetapi mata juga perut. Ibuku tidak pernah
salah mencampur apapun itu bentuknya. Ia selalu berhasil mendaur ulang makanan
sisa semalam, jadi sarapan yang menggiurkan. Bahagia ibu adalah melihat buah
hatinya kenyang –begah- tak karuan karena masakannya. Bahagia ibu terselip di
antara anak-anak yang makan dengan rakus dan lahapnya, -menyapu bersih setiap
butir nasi yang tersisa di atas piring hingga tandas. Duka ibu adalah anak-anaknya yang kurus kering
seperti tidak terurus. Dukanya adalah rumah yang kian sepi ditinggal anaknya
melalang-buana tidak tau arah. Dukanya berupa meja makan yang sepi, dan tidak
tersentuh kecuali oleh semut dan cicak.
Ibuku
dan dapurnya. Mungkin hanya suara radio yang sesekali meramaikan rumah saat ia
sendiri, sepulang kerja, ditemani oleh dapurnya. Mungkin hanya dapur yang
membuatnya sibuk dan lupa akan dukanya yang bertumpuk, membebani pundaknya. Ya,
ibuku kian menua. Tak sepantasnya ia menanggung beban yang segitu dramatisnya.
Ya, ibuku kian menua, dimakan asap jalan tiap harinya. Sudah seharusnya ia
menghabiskan waktunya di dapur, dan mengurus rumah dengan gesitnya.
Tapi
ibu dan dapurnya tidak akan pernah sepi. Sesibuk apapun ia mencari nafkah untuk
anak-anaknya yang melalangbuana tidak tau arah. Ibu dan dapurnya tidak akan
pernah sepi di makan hari. Setua apapun ia nanti, selemah apapun kakinya
berjalan, ia akan tetap mencipta makanan yang tak akan mampu kutolak.
Ibuku
dan dapurnya.
27.okt.2014
7.39
p.m
ibuku sama dengan ibumu, berkutat di dapur tanpa terlihat rona kelelahan nya. Tangan nya penuh akan bilur bilur dari bekas arang yang di bakar. yaa, ibu ku sama hebat nya dengan ibu mu
BalasHapus