Ya, Sudahlah
“hendak mencari apa, Tuan?”
“aku ingin memasang alarm yang bisa membuatku tau jika ada orang asing
yang ingin menyelinap masuk ke dalam rumahku.”
“ah, saya tahu,” lalu penjaga toko itu masuk ke ruang dalam toko. Tak
lama ia kembali dengan membawa sesuatu di tangannya. “kami punya alarm canggih
keluaran terbaru, CJ7.” Sekotak putih yang bertuliskan CJ7 terlihat menarik. Ia
menjelaskan detail keunggulan alarm tersebut dari alarm lainnya.
“berapa harga untuk alarm itu?”
“satu juta, Tuan.”
“…”
Aku pulang dengan tangan hampa. Berjalan pun sendiri. Tanpa sebungkus
makanan, tanpa sekotak permen, atau sebuah alarm. Ya, menurutku alarm sama saja
fungsinya. Harga yang ditawarkan penjaga toko membuatku gigit lidah. Satu juta
untuk sebuah alarm? Yang benar saja! Uang segitu tidaklah sedikit. Apalagi
untuk seorang penjual balon murahan macamku ini.
Ah, sudahlah. Tiba di rumah lebih cepat, ku kira akan lebih baik. Sudah
ku kenal baik bentuk rumah mungil yang dibuat tingkat 2 dari kejauhan. Satu
blok lagi. Tinggal satu blok lagi, maka aku akan melihat sepetak rumah mungil
yang diapit oleh dua gedung pencakar langit. Home sweet home…
Akhir-akhir ini, aku merasa ada seseorang yang sedang berusaha menyelinap
ke rumahku. Beberapa kali ku dengar suara berisik dari halaman belakang. Aku
hapal benar letak setiap barang di rumahku. Baik itu sofa, telivisi, bahkan
sekop di taman belakang, yang letaknya lima langkah dari pintu sekalipun. Rumah ini adalah satu-satunya
harta peninggalan istriku tercinta. Rumah idaman, yang ia harap suatu hari
nanti bisa bertengger manis di daratan Brazil. Rumput hijau membentang menjelma
halaman rumah. Nyanyian burung dan jangkrik menjadi alunan merdu sang alam.
Ataupula, bisikan gemercik air sungai yang menimang manja. Tapi sayang. Belum
sempatlah ia mendapat itu semua, kanker rahim telah merenggut nyawanya. Hingga
kini, aku hanya bisa menjaga peninggalannya sebaik mungkin.
Mengingat hal manis itu, membuatku semakin rindu akan belai kasihnya.
Kini, hanya bir yang dapat meringankan rinduku.
“ah, masih ada persediaan banyak.”
Ku ambil 3 kaleng bir, dan membawanya ke depan tivi. Di samping jendela,
terdapat tumpukan kaleng bir yang ku buat serupa menara Eifel. Sudah banyak
rupanya bir yang ku tenggak. Lama-lama, kaleng kosong itu bisa memenuhi seisi
rumahku. Ingin ku buang, tapi sayang. Jika tak ku buang, hanya menjadi sampah. Ah, sudahlah. Biarkan saja seperti itu. Mungkin nanti aku bisa menjualnya kepada
seorang kolektor benda antik. Ha ha ha...
Eh, sebentar.. aku punya ide
cemerlang!
Baiknya kugunakan saja
kaleng-kaleng sampah itu menjadi sesuatu yang berguna. Semacam, hm..., alarm.
Nominal satu juta tergantikan oleh setumpuk sampah kaleng bir. Cemerlang!
Sisa 3 kaleng bir yang telah
habis ditenggak, ku singkirkan ke samping sofa. Kira-kira cukuplah jika ku
tambah 5 kaleng bir lagi. Total 8 kaleng kosong cukup nyaringlah jika jatuh
tersenggol. Jadi begini.. kaleng-kaleng ini akan ku tumpuk seperti menara eifel
kecil di dekat pintu dan jendela. Dengan demikian, jika penyusup itu datang
lagi ke rumahku, aku akan tahu! Ha ha ha...
Malam ini aku akan tidur
dengan tenang.
Klenteng...krincing...krontong...
“Siapa itu?!” spontan aku
bangun dari tidurku di sofa. ”kampret! Siapa itu?!” maki ku sekali lagi. Ku
ambil pemukul golf di samping tivi, dengan jalan yang hati-hati, ku hampiri
tempat kejadian perkara. Ku nyalakan lampu,
Ctek..
“rasakaa...
loh?” betapa kagetnya aku mengetahui sosok yang menyelinap itu adalah seorang
yang ku kenal betul wajahnya. “sedang apa kau, Marimar? Kenapa kau menyelinap
ke dalam rumahku?”
Dia
adalah wanita yang tinggal tepat di seberang rumahku. Perempuan paruh baya ini
biasa berkunjung untuk sekedar berbincang denganku. Orangnya ramah, dan asik
diajak berdiskusi. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Berambut sebahu dan memiliki
tekstur wajah yang keras.
“a..aa..aku..”
dia terlihat gelagapan. Matanya sibuk berputar 360 derajat. “aku hanya
ingin....”
“kau
ingin mencuri?” tebakku.
“tidak!
Mana mungkin aku mencuri!”
“umm… aku… aku.. hanya ingin..
mengambil kargo. Tadi siang aku melihatnya masuk ke dalam rumah anda, tuan.”
Jawabnya sambil tersipu.
“kargo?”
“dia… tikusku.”
Tak lama seekor tikus muncul
dari balik buffet yang terletak di samping pintung belakang. “aaah.. akhirnya
kau keluar juga. Aku kangeeeenn…”
“bagaimana dia bisa masuk
menyelinap dan bersembunyi di situ? Ba..”
“dia tikus, tuan.” Tikus itu
terlihat menyelusup masuk ke dalam sela pakaian tidurnya. “baiklah. Aku permisi
dulu. Selamat malam.”
Pintu kembali tertutup.
Keheningan kembali menjadi teman setiaku, setelah bir, dan cerutu, tentu saja.
Sofa di depan televisi masih terasa empuk dan nyaman. Televisi pun masih sibuk
mengoceh tentang gossip dan politik yang tak jelas juntrungannya. Kadang ku
selingi dengan liukan wanita seksi yang beradu dengan sebuah tiang yang
disinari lampu gemerlap.
Yah, sudahlah.
Komentar
Posting Komentar