Surat Untuk Mantan
Hai,
mas.
Apa kabar? Semoga kau selalu, tanpa lupa, sehat dalam lindungan Tuhan.
Lama tak bersua, kudengar kau telah berbahagia di sana. Baguslah kalau begitu.
Aku turut senang mendengarnya. Itu tanda doadoa baikku dikabulkan oleh-Nya.
Sedang cacimakiku diredam habis dibawah nisan.
Bagaimana,
mas? Aku mengawali surat ini dengan baik bukan? Adakah kau sempat juga bertanya
perihal kabarku –kabar dari seorang yang kau tumpahkan hatinya hingga tercecer
berantakan? Jika iya, semoga aku selalu baik. Walau kau tau, menjadi baik
untukku tidak mudah lagi. Tapi anggap saja aku baik. Setuju? Terima kasih.
Kau
ingat? Dulu, sewaktu menjadi kekasihmu, ada satu kebiasaan menyenangkan yang
selalu kusembunyikan di balik punggungmu. Menulis surat. Ya! Untukmu. Surat itu
dulunya berkembang biak dengan teratur. Mereka tersusun rapi di memori
komputerku. Kadang lucu, kadang galak. Adapula yang hambar. Kini suratsurat
itu sudah tenang. Mereka tak lagi seperti anjing yang duduk manis di depan
pintu, menjulurkan lidah dengan napas terngah-engah sembari menggoyangkan
ekornya, menunggu majikannya pulang. Kerna hampir habis tinta dalam penaku, mas.
Jemariku kelu. Padahal banyak kata yang minta dimuntahkan di lembar bersih atau
diantara tuts keyboard. Hingga akhinya aku putuskan untuk matikan lampu dan
membuang ruangmu di otakku, agar mereka tak menggonggong lagi. Aku hanya takut
sewaktu-waktu kesabaran mereka habis lantas mengoyak hati, dan mengigit habis
jiwaku. Kalau sampai begitu, aku harus bagaimana?
Ah,
maaf. Aku terlalu terbawa perasaan. Padahal tidak baik juga kalau terlampau
sering terbawa perasaan. Sebenarnya ada banyak celah untuk menuliskanmu surat
lagi. Tapi banyak pula yang kuhiraukan. Baru sekarang aku berani membiarkan
jemariku menari diantara tuts keyboard. Mungkin sebab cintaku (sial! Aku
menyebutkan cinta!) belum habis dimakan sore waktu itu.
Apa
kau masih mau membaca kelanjutan suratku? Kau sedang tak ada kerjaan ya?
Sebenarnya aku
tak tau ingin menulis apa untukmu kali ini. Ampas cintaku (baiklah, maaf. Aku
menyebutkan kata itu lagi) sudah terlalu lama mengendap. Sudah pekat warnanya.
Tapi masih enggan kubuang. Kau tau kenapa? Karena mereka terlanjur menyebut itu
cinta! (tai kucing aku menyebutkannya lagi!)
Ah,
lagilagi aku terlalu terbawa perasaan. Terlihat menggebukah? Duh, aku rasa
sudah seperti babu perasaan. Jujur saja, aku memang berniat menggunakan
perasaan untuk menulis surat ini. Banyak lintas masa bahagiaku dulu –bersamamu-
selagi mengurai sisa cinta (agrh!) yang masih kusut. Sepertinya hanya aku saja. Atau kau juga, mas?
Masa?
Sudah
sajalah. Aku masih tak tau harus menulis apa untukmu kali ini. Jika dilanjutkan,
bisabisa aku akan sering menyebutkan c*nta lagi. Menggelikan sekali menyebut
kata itu. Haha…
Doaku,
diakhir surat ini. Semoga sesal segala sesal tak berujung hingga ubun menjadi
ampas. Semoga Tuhan tak lelah mendekapmu dalam nikmat-Nya. Semoga perempuanmu
kelak dapat memuaskanmu –baik ini maupun itu. Semoga kau tetap tidak lupa
rasaku. (HAHAHA…)
Jakarta,
03.april.2013
Nb.
Surat ini GAGAL diikutsertakan dalam lomba #suratuntukmantan yang diselenggarakan
oleh (@)gramedia dan (@)benzbara_ pada hari kemarin. Heuhehe…
Komentar
Posting Komentar