orang pinggiran

itulah panggilanku.
orang-orang dengan jas kemewahan itu kerap memanggilku demikian.
mereka juga.
orang-orang dengan kacamata kuda itu sering menyebutku seperti itu.
orang pinggiran.
itulah aku. bukan orang yang terbuang. hanya tersingkirkan.
tersingkir. hmm.. mungkin lebih tepatnya ditendang.
ditendang dari kemajuan ini.
orang pinggiran.
bukan orang terbuang.
bukan juga sampah yang lolos dari tempatnya.
bukan tikus pula yang keluar dari got, dan mati terlindas dipinggir jalan.
orang pinggiran.
bukan orang bodoh yang hanya bisa duduk terdiam dan menonton.
bukan pula toa yang banyak berteriak dari balik uang yang berlembar-lembar.
orang pinggiran.
merupakan orang-orang sukses yang merunduk dari silaunya lampu kota yang menyengat.
satu dari padi menguning yang terdapat di sawah hijau yang tertiup angin itu.

aku, sebagai orang pinggiran yang gagal.
orang-orang kadang menyebutku kampret.
tak jarang dicaci-maki, dan dihina-dinakan.
satu-tiga-seratus kali aku diludahi.
tak hanya ditendang, bahkan digulingkan, dan dilengserkan dari pijakanku sekarang.
aku, sebagai orang gagal pinggiran.
tetesan hujan menjadi gentengku.
kotoran kuda sebagai alasku.
tubuhku bermandikan sinar mentari.
tak jarang asap si kuda besi itu menjadi selimutku.
lalu, aku tetap menjadi orang pinggiran.
tetap menjadi orang yang terbuang dari yang terbuang.
tubuhku hanya berisi tulang dan kentut.
tak heran bilamana aku mati di pinggir jalan.
tak mengenaskan jikalau bangkaiku tak satupun hewan mau menyentuh.
apalagi mendekat.
orang pinggiran.
itulah julukan ku.

09.02 p.m
6 maret 2011

Komentar