Mencintaiku karna Terbiasa


Awalnya kau suka padaku karna aku perempuan. Mendekatiku, kau berjalan tegap kokoh. Seolah tidak ada yang bisa menghalangi langkahmu. Aku hanya menatapmu dengan tatapan kosong. Kau tersenyum dan menyuguhkan mawar merah dalam mangkuk sup. Sayangnya, mawar tak dapat meluluhkan pandanganku.

Kau mulai tertarik padaku karna aku terlihat cantik di matamu. Aku yang terlihat di matamu belum sepenuhnya kau tau. Aku harus bisa mendapatkanya, pikirmu. Kau mulai bergerak. Lagi-lagi, aku melihatmu dengan tatapan kosong. Kau bergurau tentang duniamu. Tempat dimana kau bisa menjadi Tuhan. Tanpa ada aturan, ataupun batasan-batasan tertentu. Kau mulai mengundangku masuk ke dalam duniamu. Menjadi bagian di dalamnya. Aku tak tahu seberapa besar duniamu. Namun, aku tertarik. Kau tersenyum, melihatku tersenyum. Akhirnya, ujarmu.

“kau menyukaiku?”

Kau diam. Terpaku pada mataku. Di sana, kau lihat dirimu terjebak pada pertanyaan sederhana, tapi mematikan.

“ya, tentu saja.”

Lalu kau menyukaiku, karna aku cantik, dan penuh tanda tanya. Mulanya kau diam. Ingin tahu, namun bingung harus melangkah dari mana, dan ke mana. Aku tersenyum.

Menuntunmu menjawab semua pertanyaanmu, membuatku menganal bayang atas dirimu. Kau penasaran, aku pura-pura buta. Kau mengorek, aku tertawa geli. Lalu saat kau diam, aku juga diam. Kau bukan menyerah. Kau hanya lelah. Duduk sejenak, dan beristirahat, kau tampak seperti bocah dalam rumah kaca. Maka, aku memberikanmu taman bermain. Seperti teras yang teduh dan aman. Kau mengetuk sopan. Tak ada alasan untuk menolakmu, aku mempersilakanmu masuk, dan melihat-lhat.

Selanjutnya, kau mulai nyaman denganku karna aku begitu transparan sekarang. Semua tanda tanya di keningmu, ku lihat sudah mulai luntur. Kau mulai mengerti dengan diriku. Kau nyaman denganku karna aku sepadan menurutmu. Bagimu, aku yang cantik itu biasa. Aku yang membuatmu nyaman, itu perkara penting.

“kau  mencintaiku?”

Kau terlihat tenang. Teduh di matamu membuka semua sekat pada duniamu. Kini, aku berdiri di porosnya.

“akan selalu, sayang.”

Kau mulai penasaran bagaimana rasa bibir, dada, dan mahkotaku. Sebagai perempuan, aku tak bisa begitu saja menyuguhkan semua hidangan manis tersebut. Kau memujiku, aku tesipu. Kau menggodaku, aku membuang muka. Kau merayuku, aku meninggikan harga. Lagi-lagi kau diam. aku sedikit mengintip, kau layangkan bibirmu pada bibirku. Kaget membuatku memoles pipimu dengan tanganku. Kau diam lagi, menatapku dalam, lalu menyenderkan bibirmu pada bibirku. Untuk saat ini, aku hanya ingin mencicipi sedikit dosa manis yang orang-orang katakan.

Namun beberapa detak waktu, kau terlihat diam. Kau lebih diam dari biasanya. Menunduk melihat ke tanah. Seakan di sana, ada sepucuk jawaban atas tanda tanyamu. Aku, tak selamanya bisa membuatmu nyaman. Pada beberapa persimpangan jalan, kau dan aku sempat berhenti untuk sama sama menimbang arah mana yang baik. Kau tahu aku berperasaan, sedangkan kau penuh logika riil. Kau dan aku sama-sama pernah mengalah dibeberapa kesempatan.

Aku mencintai caramu mencintaiku. Kau mencintaiku karena semua alasan-alasan yang kau temukan. Hingga pada akhirnya,

“kau perempuan. Kau memang cantik. Kau membuatku nyaman menjadi diriku sendiri, dan melihat dirimu sebagai dirimu. Kau mempunyai rasa manis yang telah menjebakku, hanya berpusat padamu. Kau membuat kita berhenti di beberapa pesimpangan jalan.”

“lalu?”

“aku tak tahu alasan apalagi yang harus ku temukan di waktu mendatang untuk mencintaimu.”

“kau tak perlu alasan untuk tetap mencintaiku. Kau mencintaiku karna terbiasa. Bukan karena alasan tetek-bengek yang harus kau cari. Cukup terbiasa mencintaiku, aku pula begitu padamu.”

Kau terdiam. Aku juga diam. Akhirnya, kita sama-sama setuju.
Dan kembali berjalan, seperti biasa.

Komentar