Tungku Perapian Kita
Kayu bakar masih menumpuk disamping perapian. Tidak terlalu banyak. Namun, sepertinya cukup untuk memberi nafas bagi api di tungku perapian kita.
Waktu terus berjalan. Rintik air dari loteng kita masih membeku. Kita masih tetap bernafas.
Mari, kesini sayang. Duduklah di samping ku. Udara di luar dingin sekali. Telah ku seduhkan teh hangat untuk menemani kesunyian kita. Berselimutkan diri di depan tungku perapian kita. Menikmati hangatnya teh di tengah bara api yang mulai meredup.
Sepertinya waktu sudah mengerogoti perlahan bara api di tungku perapian kita. Abu sudah mulai terlihat mengotori pinggiran perapian kita. Ada apa gerangan, sayang?
Apakah kayu itu terlalu jauh dari jangkauan kita? Atau kita sudah terlalu malas untuk sekedar melemparkan kayu bakar ke dalam perapian kita?
Ya. Sepertinya waktu memang terus berputar. Merubah semua tata lahan dan mungkin cinta. Halaaah..
Maaf. Aku terlalu sok pintar untuk membicarakan cinta dah tetek bengek semacamnya. Haha
Baiklah, sayang. Aku tidak akan berani menjadi sok dewa yang tau segalanya, di depanmu. Aku tidak akan pernah menang, di matamu. Aku...
Aku akan tetap diam dan menikmati kehangatan ini bersama mu. Selagi masih bisa.
Terima kasih, sayang.
Komentar
Posting Komentar