hai

Ingin sekali bertemu dan berbincang denganmu. Empat mata. Tanpa sekat, tanpa perantara, tanpa jeda. Hanya kau dan aku saja dalam sebuah pertemuan yang dirancang Tuhan. Bisakah kita?

Lupakan sejenak tentang politik yang membelit otakmu. Kita tak kan berbicara tentang ribuan tikus yang mati mengenaskan di jalan. Kita tak membahas mengapa para gelandangan bisa bertahan hidup di tengah Jakarta yang keras ini. Kita bahkan tidak berbincang mengapa Tuhan begitu terasa nyata di dunia semu ini. Aku hanya berminat untuk melerai rindu yang makin tak tau aturan. Bisakah kau membantuku?

Mari sini, sayangku. Kau yang baik dan pernah mencintaiku dengan segala kasihmu. Mari kita berbincang sejenak. Dengan cakaran angin, dengan tatapan bisu, dengan bahasa yang tak satu malaikat pun tau. Mari kita berbincang tentang sesuatu yang telah lama kita rindukan. Tentang permadani biru yang selalu bertengger di atas puncak, tentang sabana gersang yang berserakan di bawah puncak kentang songo, tentang kasih yang tandas pada sebuah pasangan gunung gagah yang serasi. Atau bahkan tentang kesedihan yang selama ini terbias oleh galaknya tawa. Tentang semua hal biasa yang mudah ku rindukan. Ya, hanya aku, mungkin.
Sekali lagi, aku hanya ingin berbincang. Padamu. Sebelum kau kembali bersembunyi di mana dua dinding saling bertemu. Hingga entah kapan.

Biarkan kita bertemu pada suatu waktu yang tak pernah berbohong. Menabrakan matamu pada mataku. Tanpa sekat, tanpa perantara, tanpa jeda. Biarkan Tuhan menuntun kita pada suatu pertemuan yang biasa. Meskipun hanya untuk berkata,

“hai.”

Komentar