Pengakuan Dosa
Sore itu, setelah
perut bisa dijinakkan dengan sekotak nasi mahal, saya mulai mematahkan seorang
perempuan menjadi remahan halus dan berserakan.
Dia bukan seorang
pastur, ataupun biarawati yayasan gereja. Tapi saya, dengan isak tangis yang
tertahan, membuat pengakuan dosa di hadapannya, tanpa sekat, tanpa jeda. Barangkali
malaikat di pundak kiri saya pun terkekeh geli mencatat semua detil dosa yang
telah saya perbuat. Melewati kaca yang membingkai matanya, saya melihat seorang
bocah duduk sambil mematahkan sesuatu. Seperti rasa kepercayaan. Semacam keyakinan
pada manusia. Di dalam matanya mulai saya temukan butir-butir hati yang patah. Lalu
serpihannya memberontak keluar dari mata, terjun melalui pipi, hingga jauh
membasahi kerudungnya.
Bocah di dalam
matanya itu adalah kata-kata saya. Pengakuan. Narasi. Tragedi yang dengan
polosnya saya ciptakan adanya. Pengakuan dosa yang berdendang pilu dari bibir
saya.
Saat diksi yang
saya punya tidak lagi bisa berbaris teratur, saya hanya bisa tertunduk. Menyesal.
Barangkali itu hanya sebuah bualan baginya. Barangkali itu hanya menjadi sebuah
isapan jempol untuknya.
Saya mengerti. Saya
paham.
Maaf memang bukan
obat untuk semua ini, setelah cerita ini akhirnya menjadi gamblang dan
telanjang. Maklum pun sudah jauh tertinggal di belakang, setelah cerita ini
akhirnya menjadi benalu yang enggan pergi. Bahkan sederet kata-kata yang biasa
menjadi bumbu penyedap pun terasa hambar dan penuh omong kosong.
Saya mengerti. Saya
paham.
Hanya sederet
atau dua deret kalimat yang ia katakan. Juga dengan serpihan percaya yang ia
buang dari mata, terjun melalui pipi, dan membasahi kerudung kelabunya.
Saya diam. Sampai
kami tiba pada satu jalan bercabang.
Untuk keyakinan-keyakinan
yang telah dengan cemerlang patah dan tercecer tidak karuan. Untuk hati-hati
yang saya putar balikan seperti komidi putar. Untuk yang retak dan tidak bisa
kembali utuh seperti sedia kala. Untuk yang selalu ada dan disakiti hingga ke palung hatinya. Meski rasanya sia-sia, maaf.
/dalam keputus-asaan/
Pd. Labu
15 Juni 2015
Komentar
Posting Komentar