seorang ibu
Ia tidak sekali pun mengeluh kala saya menendang dinding rahimnya yang terasa kian sempit. Dia begitu menantikan gerakan saya. Semua bahasa tubuh yang saya timbulkan, berbuah senyum di bibirnya yang halus. Ya, dialah ibuku.
Saat saya rasa kantung rahim sudah tidak cukup lagi bagi saya untuk berkembang, saya pun mencari jalan lain. Dan disanalah dia. Berusaha mempertaruhkan nyawa dan segenap tenaga membantu saya keluar menemui sinar mentari yang hangat. Tetesan peluh membasahi tiap senti kulitnya yang rapuh. Hanya tangisan saya lah yang ia tunggu selama 9 bulan ini.
Lalu, saya pun terlahir ke dunia ini.
Tatapan sendu dari seorang ibu kala melihat buah hatinya menyentuh udara ini. Sungguh haru saya rasa. Dia sentuh kulit saya yang masih bening dan tanpa dosa. Saya genggam jemarinya yang halus. Jemari seorang ibu.
Saat itu, aku hanyalah sebuah kaca yang rapuh dalam pelukannya.
Waktu demi waktu pun berlalu. Yang saya bisa hanyalah berbaring di atas kasur empuk. Mengompol, dan menangis. Sungguh merepotkan. Tapi yang ia lakukan hanya tersenyum sambil membenarkan popok saya yang penuh dengan tinja. Begitu pun saat saya menangis di tengah malam hanya untuk meminta sebotol susu. Dia tetap menyanyangi saya lebih dari apa pun. Atau saat saya merengek dengan popok bau pesing, saat dia sedang melahap makanannya. Dia tetap tidak membenci saya. Dia lah ibu ku.
Banyak hal yang dia ajarkan kepada saya. Dia lah yang menuntun langkah pertama saya menapaki bumi. Dia tetap menggenggam tangan saya, walau saya telah mahir berjalan. Dia memberi saya bahasa, cinta, kasih, dan senyum. Dia memberikan segalanya pada saya, walau saya tidak meminta. Dia lah pahlawan saya. Ibu ku.
Dia yang selalu memberi warna pada kedua mata ini, saat saya buta. Perlahan, saya dapat menggunakan tangan saya dengan baik dan benar. Berjalan dengan tegak, dan kepala penuh dengan informasi yang ia berikan. Seiring berjalannya waktu, tubuh saya terpenuhi. Lengkap, tanpa ada yang tertinggal.
Semakin lama, saya semakin mengenal dunia. Sesekali saya tersandung, dan terjatuh. Dan dia selalu ada disana. Tepat dimana saya terjatuh. Mengulurkan tangan, dan membatu saya berdiri kembali. Kian lama, saya kian memberanikan diri sendiri. Sesekali mengacuhkan uluran tangan malaikat tanpa kenal lelah itu. Sehingga sering kali saya terpuruk, tanpa memerdulikannya.
Tapi dia tetep berada disana untuk membantu saya bangkit, dan berdiri kembali. Walau saya mengacuhkan, atau sering kali melupakan. Bukanlah anak yang baik.
Namun, untuk kesekian kalinya, saya jatuh. Dan untuk kesekian kalinya pula saya mengacuhkannya. Tatapannya perlahan berubah. Dia tidak lagi mengulurkan tangannya. Dia hanya merunduk. Terbesit sebongkah besar penyesalan tiada tara. Tergopoh-gopoh saya bangkit dari kelamnya lubang tempat saya terjatuh. Saya menatap mata indah itu. Dia perlahan tersenyum, dan kembali mengulurkan tangannya. Sungguh tidak dapat di ungkapkan dengan untaian kata ini. Saya pun menangis haru dalam hati. Entah apa yang akan merasuki. Yang saya rasa, saya hanya ingin bersujud dan mencium kakinya. Surga ibuku.
Ya, dia ibu ku.
Semenjak mentari belum menampakkan dirinya, dia sudah pergi berkelana untuk mengasih receh demi receh. Agar tetap menyambung tali kehidupan. Tak kenal lelah, tak kenal menyerah. Terus beusaha. Di tengah terik siang yang kian menusuk. Hingga desiran angin yang membekukan raga, buramkan jiwa. Kadang saya malu menawarkan secangkir teh hangat peredam beku. Atau begitu enggan saya bercakap dengannya? Hanya untuk menanyakan kabarnya. Maafkan saya, ibu.
Kini saya sudah semakin dewasa menapaki kehidupan yang kian bermain. Semakin banyak penghasutan yang kian menerjang. Tapi engkau masih tetap disana. Mengawasi dan memantau saya. Apakah ada yang salah ibu? Raut wajah mu masih secantik dulu.
Segaris hitam dibawah kelopak mata mu, mengukir perjalanan panjangmu. Kerut wajahmu semakin jelas terlihat. Tapi engkau masih tetap secantik dulu. Kau masih tetap ibu ku.
Ibu
Komentar
Posting Komentar