Seekor Ikan Mas Mungil
Seorang gadis kecil menghampiri ku dengan membawa sebungkus plastik
berisi ikan mas mungil di tangannya. Dia tersenyum riang sambil berkata,
“lihat kakak! Aku baru
saja mendapat teman baru!”
Aku hanya membalas senyumnya sambil mengelus pipi halusnya. Setelah
itu, dia pergi menjauh. Berlari riang memamerkan ikan barunya. Menyebrang jalan
menemui wanita setengah baya yang menunggunya –dengan senyuman pula.
-Seminggu kemudian-
Aku masih duduk di bangku taman yang sama. Memperhatikan para
jompo yang menyebarkan remah roti untuk burung dara liar yang kelaparan. Para orang
tua yang mengajak buah hatinya menikmati minggu sore yang teduh. Adapun beberapa
manusia dewasa yang menenteng anjingnya berjalan-jalan mengelilingi taman.
Tak lama, gadis yang sama menghampiri ku. Lagi. Dia menangis.
Air matanya jatuh membanjiri pipinya yang merah. Hidungnya pun ikut merah
seperti hidung badut sirkus. Rambutnya acak-acakan.
“ada apa, adik manis?”
“teman ku mati.”
Dia –kembali- menunjukkan sebuah kantong plastik. Di dalamnya,
ada seekor ikan mas mungil yang diam. Benar-benar diam tidak bernyawa.
“ikan yang malang.” Ujarku sambil mengusap rambutnya yang
merah kecoklatan. “ayo kita bawa dia ke pemakaman ikan. Aku tau pemakaman ikan
dekat sini.” Lalu aku menuntunnya menuju losmen, tempat ku tinggal, yang
letaknya tak jauh dari taman.
“aku tidak tau harus bagaimana lagi kakak. Dia tidak mau ku
ajak bermain.” Ucapnya di sela isak tangis yang tak kunjung berhenti.
Setibanya di losmen ku, aku langsung menghadapkan dia pada
sebuah kloset.
“taruh jasad teman mu di sini. Ku yakin dia akan tenang.”
Gadis kecil itu menurut. Dia membuka bungkus plastik, dan
menaruh ikan tersebut kedalam kloset yang sudah ku buka. Memandanginya untuk
saat-saat terakhir, sebelum dia menekan flush
yang membawa jasad temannya pergi untuk selamanya.
“kakaaaaak… !!!”
Tangisnya makin menjadi. Raungannya seperti ibu yang baru
saja kehilangan bayi kesayangannya. Aku tak tahu cara menangangi seorang gadis
kecil yang menangis. Aku hanya mendekapnya erat, sambil membopongnya ke ruang
tamu.
Di situ, aku duduk sambil memeluk si gadis mungil. Dia terus
saja menangis. Membasahi kemeja baru ku dengan ingus dan air matanya. Sesekali aku
membelai rambutnya, berharap dia bisa sedikit tenang. Hingga akhirnya dia
lelah, dan tertidur di pelukan ku.
Tok..tok..tok..
“maaf, aku hendak menjemput anak ku.” Terlihat seorang wanita
paruh baya di bibir pintu.
-dua hari berselang-
Masih di bangku yang sama di selasa sore yang sedikit
mendung. Memanjakan mukzijat Tuhan yang sering manusia sebut sebagai indera. Merasakan
belaian angin September yang mulai dingin. Membiarkan rambut ku di permainkan
olehnya. Menghirup dalam-dalam aroma tanah menjelang hujan –walau belum tentu
hujan akan turun.
“kakaaaaakk..!!!”
Teriakan seorang gadis mungil dari ujung jalan. Dia berlari ke
arah ku dengan riang gembira. Senyum mengembang terlihat jelas di bibirnya.
“aku mendapat teman baru lagi!” ucapnya begitu tiba di
hadapan ku, sambil menunjukkan sebuah kantong plastic berisi ikan mas mungil.
“selamat ya, manis.”
Setelah itu, dia kembali pergi menghampiri ibunya.
Lalu hujan datang membasahi tanah.
2.37 a.m
23 desember 2012
Life is cyrcle, right? :]
BalasHapusKeren. Tulisan yang mencoba menggambarkan kehidupan dengan sebuah cerita fiktiv. Mirip tulisan saya, bedanya tulisan kamu pake bahasa yang santai :D
wah.. saya gak kepikiran malah klo cerita ini bs diartikan kyk gitu. waktu nulis cerpen ini saya mikirnya lebih ke posisi teman yg bs didapat, ditangisin, atau dibeli dengan mudah. haduuh maaf.. blogmu masih jadi PR buat saya -_-
BalasHapus